Soeharto dan Islam, Integrasi Umat dalam Arsitektur Kebangsaan

Tim Redaksi
9 Nov 2025 15:04
4 menit membaca

Mediacakranews.com- Perbincangan mengenai kemungkinan Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tidak dapat dilepaskan dari cara kita membaca hubungan antara negara dan umat Islam dalam periode kepemimpinannya. Pada awal Orde Baru, negara menempatkan stabilitas sebagai prioritas utama.

Latar sejarah saat itu menunjukkan Indonesia baru saja keluar dari pertentangan ideologis yang kuat, sehingga kontrol terhadap ekspresi politik berbasis agama merupakan pilihan strategis untuk menjaga persatuan.

Banyak pihak melihat fase ini sebagai pembatasan, namun konteks zamannya perlu juga dipertimbangkan sebagai bagian dari rekonstruksi negara pasca gejolak nasional.

Memasuki pertengahan 1980-an, arah kebijakan Soeharto terhadap Islam berubah. Pemerintah menyadari bahwa umat Islam bukan hanya kelompok mayoritas secara demografis, tetapi juga kekuatan moral, intelektual, dan sosial yang perlu diberi ruang dalam konstruksi kebangsaan.

Transformasi ini tidak berlangsung melalui retorika, tetapi melalui pembukaan saluran partisipasi umat dalam pendidikan, ekonomi, dan negara. Dengan kata lain, negara bergerak dari pendekatan kontrol menuju pendekatan integrasi.

Perubahan orientasi ini penting dicatat karena menjadi fondasi munculnya kelas menengah Muslim Indonesia, sebuah fenomena sosial yang menjadi salah satu penopang stabilitas demokrasi hari ini. Integrasi ini tidak hanya menyangkut identitas, tetapi juga mobilitas sosial: umat Islam tidak lagi berada di pinggir panggung politik dan kenegaraan, melainkan menjadi aktor yang ikut menyusun arah masa depan bangsa.

Kelembagaan Umat dan Mobilitas Sosial Baru Salah satu simbol paling kuat dari integrasi tersebut adalah pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 1990, yang kemudian dipimpin oleh B.J. Habibie. ICMI memberikan akses bagi sarjana dan profesional Muslim untuk masuk ke ruang-ruang strategis kebijakan negara. Sebelum fase ini, representasi Muslim di tingkat teknokrasi, birokrasi, dan akademisi tinggi berada dalam posisi minor dibandingkan kelompok lain yang lebih dulu menguasai pusat pengetahuan modern. Kehadiran ICMI mengoreksi ketimpangan historis tersebut secara struktural.

Selanjutnya, lahir Bank Muamalat (1991) sebagai bank syariah pertama di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan negara mulai memberi tempat bagi aspirasi ekonomi berlandaskan prinsip Islam. Institusionalisasi keuangan syariah ini bukan simbol, tetapi fondasi penting yang mengakui identitas umat Islam dalam sistem ekonomi nasional. Kini, industri keuangan syariah Indonesia masuk dalam kategori lima terbesar di dunia. Keberhasilan itu tidak mungkin dicapai tanpa fondasi kelembagaan yang disiapkan pada era Soeharto.

Legalisasi UU Peradilan Agama (1989) menandai pengakuan formal negara atas peran hukum Islam dalam kehidupan keluarga Muslim. Peradilan agama tidak lagi berada di wilayah administratif terbatas, melainkan menjadi bagian resmi dari sistem kekuasaan kehakiman.

Ini tidak hanya memperkuat kedudukan hukum Islam, tetapi juga memberi kepastian hukum bagi jutaan keluarga Muslim yang menjalani kehidupan sehari-hari. Di sini, Islam tidak hanya dihormati secara kultural, tetapi diakui secara konstitusional.

Integrasi Islam dan Kelayakan Kepahlawanan: Dalam membaca sejarah Soeharto dan Islam, kita tentu tidak menutup mata bahwa terdapat fase-fase ketegangan, pembatasan, dan pengelolaan politik yang kuat. Namun penilaian terhadap Pahlawan Nasional tidak mensyaratkan sosok yang tanpa cacat. Yang menjadi ukuran adalah kontribusi yang menghasilkan dampak luas dan berkelanjutan bagi bangsa. Dalam hal ini, warisan Soeharto terhadap Islam bukan sekadar hubungan personal, tetapi transformasi struktural yang mempengaruhi perjalanan umat hingga hari ini.

Integrasi umat Islam ke dalam struktur negara, penguatan kelembagaan keumatan, tumbuhnya kelas menengah Muslim profesional, pengakuan formal terhadap peradilan agama, serta pembukaan jalur pendidikan dan ekonomi bagi santri dan masyarakat luas—semua itu menunjukkan bahwa Soeharto telah memainkan peran strategis dalam memperkuat posisi umat Islam sebagai pilar kebangsaan. Dampaknya terasa hingga sekarang, dan akan terus mempengaruhi tatanan masyarakat Indonesia ke depan.

Karena itu, menilai Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukanlah upaya memutihkan sejarah, melainkan upaya menilai dengan keseimbangan. Mengakui jasa tidak berarti menghapus kritik; mengingat kritik tidak berarti menolak penghargaan. Bangsa yang matang dalam bernegara adalah bangsa yang berani melihat sejarah secara utuh bukan hitam putih, bukan emosional, tetapi jernih dan dewasa.

Dalam ukuran kontribusi yang membentuk arah sejarah umat Islam Indonesia, Soeharto layak dipertimbangkan sebagai Pahlawan Nasional. (Redaksi)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *